Kenangan Bersama
Malaikat
@DeeR
Namaku
Salman, aku adalah seorang pemuda di suatu desa. Aku hidup bersama dengan
kakek, nenek, dan kedua adikku yang bernama Anggi
dan Rahmi. Bisa dibilang bahwa desaku tersebut adalah desa yang amat terpencil
walaupun letaknya di kawasan kota. Walaupun terpencil tapi pesona yang ada di
desaku ini tidak kalah dengan desa yang pemandangannya elok nan rupawan. Di
desaku ini terdapat beberapa hutan heterogen seperti hutan jati, hutan pinus,
hutan sengon dan sebagainya. Desaku ini terletak di kota wonogiri. Wonogiri
adalah kota yang berdekatan dengan kota karanganyar dan kota solo, wonogiri
sering juga disebut dengan “kota gaplek”. Gaplek adalah singkong yang sudah di
keringkan melalui dijemur, biasanya digunakan
lauk bisa atau untuk pakan ternak. Di desaku terdapat satu
sungai kecil yang setiap hari libur selalu ramai oleh anak-anak yang dengan
polosnya bermain-main di sungai tersebut, seperti berenang, memancing, atau
bahkan menjaring ikan disana. Aruang tamuku pun sering juga bermain
bersama-sama anak-anak disana walaupun umurku sudah dua puluh satu tahun, maklum karena kedua orang tuaku merantau di
negeri orang nan jauh disana, jadi mau tidak mau aku harus menjadi orang tua
bagi adik-adikku yang berarti aku juga harus ikut bermain-main bersama mereka.
Adik-adikku
ini semuanya masih berumur kecil, Anggi masih berumur sepuluh tahun sedangkan
Rahmi masih berumur tujuh tahun. Mereka sering memanggilku dengan sebutan abang
walaupun kami bukan asli orang jawa barat. Aku juga tidak tahu mengapa mereka
bisa memanggilku dengan sebutan tersebut, mungkin terlalu dekatnya aku dengan
mereka sehingga mereka mencari sebutan agar lebih terasa dekat denganku. Banyak
sekali waktu-waktu bersama kedua adikku ini yang tidak akan pernah aku lupakan
selamanya. Ada satu kejadian yang itu bisa membuatku menangis ketika mengingat
kejadian tersebut.
Suatu
hari Rahmi sudah selesai sekolah dan sedang perjalanan ke rumah. Di saat itu
aku sedang liburan semesteran dari kampusku , jadi aku menghabiskan waktu
liburku tersebut di rumah bersama keluarga bahagiaku ini. Hari itu tidak
seperti biasanya, Rahmi pulang kerumah, ganti pakaian langsung keluar lagi,
“Rahmi, mau kemana? Makan siang dulu sebelum bermain”, tanyaku pada Rahmi,”Aku
masih kenyang Bang”, jawab Rahmi dengan nada yang sedikit sinis. Sedikit sakit
hati ini saat adikku yang sangat menyayangiku dan sangat aku sayangi bersikap
dingin dan sinis padaku , padahal selama ini mereka selalu tertawa, tersenyum
dan bersenang-senang denganku, tidak pernah sebelumnya aku melihat ekspresi wajah
kebencian mereka kepadaku. “Ya Ampun, apa yang telah aku lakukan? Apa yang
telah aku perbuat? Apa kesalahanku sehingga adikku bersikap demikian?”, gumamku
dalam hati. Tidak lama kemudian Anggi pulang dari sekolah dengan muka yang
merah padam dan berjalan dengan begitu cepatnya masuk kerumah, “bruukk”, Anggi membanting tasnya didepanku yang sedang
duduk disofa ruang tamu dan kemudian dia masuk kekamar. Sesaat kemudian dia
keluar dari kamar , ternyata dia hanya mengganti bajunya lalu dia keluar rumah.
“Anggi, makan dulu?” sapaku padanya, “Aku sudah kenyang“ jawabnya dengan sinis
seperti adiknya tadi. Aku semakin penasaran terhadap sikap mereka terhadapku
hari ini. bukan hanya itu, perubahan sikap juga terjadi pada kakek dan juga
nenek, walaupun seharian mereka dirumah tapi mereka tidak sedikitpun menyapaku,
tidak ada sepatah dua patah kata yang mereka ucapkan padaku, mereka hanya diam
seharian dirumah. Waktu menunjukkkan jam dua siang, dan saatnya aku mencarikan
makan rumput untuk ternak-ternak ayahku. Ayahku mempunyai hewan ternak empat
ekor sapi dan enam ekor kambing, jadi, harus mencari rumput yang banyak untuk
memberi makan ternak-ternak tersebut. Kadang aku juga membawa serta
kambing-kambingku ke hutan untuk mencari makan, jadi aku hanya mencarikan rumput
untuk sapi-sapiku saja.
Waktupun
menunjukkan pukul lima sore. Akupun segera kembali dari hutan menuju ke rumah, takutnya kalau pulang terlalu sore
atau bahkan sampai jam enam, karena mitos yang berkembang di desaku bahwa warga
tidak boleh perpergian pada waktu sore jam enam. Aku segera membawa rumput dan
menuntun kambingku pulang. Sampai dirumah aku langsung memberi makan sapiku
yang sudah kelaparan sejak tadi siang dan juga memberikan minum. Setelah
selesai berurusan dengan sapi-sapiku ini aku langsung ke dapur untuk membantu
nenek mempersiapkan makan untuk keluarga. Sama seperti tadi pagi hingga siang
tadi, nenek masih diam seribu bahasa.
Aku jadi sedih melihat sikap mereka terhadapku, tetapi aku usahakan untuk tetap
bersikap iasa dengan mereka dan tidak
akan menanyakan tentang sebab kenapa mereka bersikap seperti itu terhadapku.
Selesai
memasak dengan nenek, aku langsung menemui Anggi dan Rahmi yang sedang
duduk-duduk diruang tamu untuk mengajak mereka makan, “Rahmi, Anggi, ayo makan
malam, kakek dan nenek sudah siap disana lho“. Ajakku pada mereka. Mereka
langsung menuju ke ruang makan untuk makan tanpa mengeluarkan sepatah dua patah
katapun terhadapku. Akupun semakin sedih karena hal tersebut.Aku tidak berani
menanyakan hal tersebut kepada mereka. Setelah kami makan malam aku langsung
belajar di ruang tamu. Entah mengapa suasana di rumah menjadi sepi sekali,
biasanya Anggi dan Rahmi masih asyik bermain di ruang kosong di rumah kami.
Tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar “tok tok tok”, lalu aku membukakan
pintu tersebut pelan-pelan, jujur aku takut kalau itu bukan manusia. Betapa
terkejutnya aku ketika melihat Rahmi dan Anggi membawa kue ulang tahun dengan
ukuran yang besar dengan lilin angka dua puluh. Di kue tersebut tertuliskan
kalimat “selamat ulang tahun ya abangku tersayang”. Dan lebih mengejutkan lagi
mereka membawa teman-teman mereka sekampung, tidak lupa juga nenek dan kakek
yang membawa pisau kue dan wadah kue. Aku pun seketika menangis karena terharu.
Belum juga tangisku berhenti Rahmi mendekatiku dan berkata; “Selamat ulang
tahun ya abangku sayang, maaf kami tadi sengaja bersikap seperti itu ke abang,
hehe” lalu dia tersenyum manis kepadaku. Lalu Anggi juga mendekatiku dan
berkata “maafkan sikap kami ya bang, pasti abang sedih gara-gara kami, abang
mau kan memaafkan kami?”. Anggi, kakek dan nenek beserta Rahmi tersenyum
padaku, tanpa menjawab pertanyaan dari Anggi tadi aku langsung memeluk erat
mereka berempat dengan isak tangisku yang menjadi-jadi. Entah sadar atau tidak
dalam pelukan tersebut Rahmi berkata sesuatu dengan polosnya “Ayah jangan
nangis, nanti Rahmi juga ikut nangis”, mendengar kalimat dari Rahmi tersebut,
aku langsung mencium Rahmi dan Anggi dengan penuh kasih sayang. Rahmi
menganggapku sebagai ayahnya sendiri, karena dia begiu menyayangiku. “sungguh
luar biasa kedua adikku ini, masih kecil tapi perasaan serta kreativitas mereka
sungguh menakjubkan”, pikirku saat itu.
Setelah
pelukan tersebut, aku langsung meniup lilinnya dengan diiringi lagu “selamat
ulang tahun” dari anak-anak tersebut, lalu tibalah saatnya pemotongan kue, kue
pertama dalam satu wadah aku berikan dua potong kue untuk kedua adikku yang
manis-manis ini, lalu kue berikutnya untuk kakek dan nenek serta untuk semua
anak-anak yang datang pada saat itu. Bukan hanya sebatas itu kekagumanku pada
kedua adikku ini, selesai membagikan kue kepada anak-anak ternyata mereka semua
membawa kembang api masing-masing, dan akhirnya mereka menyalakan kembang api
itu bersama-sama , sungguh malah yang sangat indah pada waktu itu, malam yang
tidak pernah aku alami sebelumnya. Akupun saat itu langsung menelpon kedua
orang tuaku tentang kejadian yang baru saja aku alami malam ini. lalu kedua
orang tuaku meminta untuk menelpon Anggi dan Rahmi, mereka berbincang-bincang
sangat lama. Wajarlah, mereka sudah lama tidap saling bicara setelah ayah dan
ibu sangat sibuk di negara tetangga, Rahmi dan Anggi kelihatan bahagia sekali
bisa bicara dengan kedua orang tua kami.
Akupun langsung berbaur dengan anak-anak untuk bermain di halaman rumah
ku. Malam itu sangat mengesankan ditambah dengan indahnya rembulan yang
bersinar dan dalam bentuk yang bulat sempurna, bermain dengan anak-anak di
bawah sinar rembulan langsung sungguh indah, sangat menyenangkan, seakan aku
kembali ke masa-masa kanak-kanak dahulu. Tidak cukup segitu, kakek dan nenek
ternyata sedang mempersiapkan hidangan berupa ayam bakar yang dibakar sendiri
di halaman rumah kami dengan panggangan yang sederhana. Seperti kemah saja,
semua membentuk lingkarandan saling menikmati hidangan yang disediakan oleh
nenek dan kakek.
Malampun
semakin larut, kami sudah mulai lelah dan mengantuk. Semua anak-anak aku suruh
untuk tidur dirumah ku untuk semalam ini, pastinya setelah mendapat persetujuan
dari orang tua mereka. Setelah semua tertidur di ruang kosong di rumah ku, aku
langsung mendekati Anggi dan Rahmi yang kebetulan tidurnya berdekatan. Aku
mendekati mereka dan mengelus-elus rambut mereka, “kalian adik-adikku yang
paling abang sayangi, terima kasih ya sudah memberi kejutan yang luar biasa kepada
abang, abang tidak menyangka kalian lebih dewasa daripada umur kalian, abang
bangga kepada kalian, terima kasih ya adikku tersayang, beristirahatlah, kalian
pasti lelah sekali dengan aktivitas seharian ini”, ucapku dengan lirih. Akupun
langsung mencium kening mereka.
Paginya
setelah mereka bangun anak-anak segera untuk pulang, kebetulan hari itu adalah
hari minggu. Tiba-tiba Anggi mendatangiku dan mengajakku untuk berjalan-jalan,
“Abang, yuk kita jalan-jalan bang?, Anggi dan Rahmi ingin jalan-jalan bersama
abang” . akupun mengiyakan permintaan kedua adikku ini. sepanjang perjalanan
mereka terlihat sangat menikmatinya, setiap ada yang menyita perhatian mereka,
mereka pasti berhenti untuk melihatnya. Seperti saat melewati jalan di dekat
hutan jati. Disana ada burung kutilang yang banyak sekali, sehingga mereka
berhenti untuk melihat burung kutilan yang berterbangan dan hinggap di pohon
jati tersebut. Setelah mereka puas melihat kejadian tersebut, mereka lalu
melanjutkan perjalanan. Lalu sampailah kami pada taman di desa kami, di taman
tersebut terdapat berbagai macam wahana permainan untuk anak-anak. Pastilah
mereka bermain-main disana dengan riang gembiranya dengan wajah-wajah kepolosan
mereka. Setelah itu mereka memintaku mengayunkan ayunan yang dinaiki oleh
mereka. Sungguh, kejadian tersebut membuatku semakin menyayangi mereka, aku
berjanji pada diriku sendiri untuk tetap menjaga mereka. Dan hari itu aku ingin
seharian penuh bersama kedua malaikat kecilku ini sebelum seninnya aku balik ke
solo untuk masuk kuliah. Aku menganggap mereka bukan hanya sekadar adikku
tetapi lebih dari itu, aku menganggap mereka sebagai anakku sendiri.
Setelah
selesai dengan bermain mereka di taman tersebut, mereka mengajakku lagi untuk
meneruskan perjalanan. Sampailah kami di hutan konservasi milik pemerintah yang
ditempatkan tidak jauh dari berbatasan desaku dengan desa tetangga. Di hutan
konservasi tersebut banyak satwa yang dilindungi disitu, seperti; burung,
harimau, kera, singa, rusa dan sebagainya. Anggi dan rahmi senang sekali di
tempat ini, mereka mengelus-elus kepala kera disitu dengan dipandu oleh
petugasnya, dan memberi makan kepada rusa. Setelah syik bermain bersama
binatang-binatang yang ada di hutan konservasi tersebut mereka meminta untuk
istirahat terlebuh dahulu, kebetulan disitu ada penjual es krim yang sedang
lewat. Kemudian kami membeli es krim itu. Sambil makan es krim, kami bersendau
gurau dibawah pohon mangga yang rindang. Sungguh kejadian yang tidak mungkin
terlupakan olehku.
Di
sela-sela sendau gurau kami, Rahmi bertanya kepadaku; “Abang, kapan orang tua
kita akan pulang ke wonogiri ? aku sudah rindu sekali dengan mereka. Aku ingin
melihat mereka abang. Rahmi ingin tahu bagaimana kondisi ayah dan ibu disana,
apa mereka akan baik-baik saja abang?”. Aku tercengang
mendengar pertanyaan dari Rahmi tadi, “sungguh polos sekali adikku ini”,
pikirku. Lalu aku menjawab pertanyaan Rahmi tadi dengan senyuman; “Sebentar
lagi ayah dan ibu akan pulang ke wonogiri, mereka disana baik-baik saja kok,
Rahmi jangan khawatir ya ?”, lalu Anggi menyahut jawabanku tadi; “ kapan abang?
Kapan orang tua pulang bang?, dengan sabar aku menjawab; “ ditunggu saja ya?”.
Mereka hanya tersenyum bahagia mendengar jawaban abangnya. Walaupun sebenanya
aku berbohong tentang kepulangan orang tua kami. Orang tua akan pulang tahun
depan, demi kebahagiaan kedua adikku ini dan senyum di bibir mereka, aku rela
berbohong, ku harap mereka tidak akan kecewa nantinya.
Untuk
mencairkan suasana kembali, aku mengajak mereka untuk melanjutkan jalan-jalan kami.
Waktu saat itu menunjukkan pukul enam pagi, maklum kami berangkat jalan-jalan
jam setengah lima pagi tadi. Kami melanjutkan perjalanan menuju ke sungai yang
ada di desa kami. Tempat inilah tempat paling kami sukai, sebelumnya aku
menyuruh mereka untuk bermain di sungai yang aliran airnya paling dangkal.
Akhirnya mereka bermain air di aliran yang dangkal tersebut. Aku hanya melihat
mereka dari pinggir sungai, sungguh kejadian yang membuatku semakin tidak mau
pisah dengan kedua malaikat kecilku ini. setelah selesai bermain di air, aku
mengajak mereka untuk memancing, untungnya, saat akan berangkat tadi aku sudah
menyiapkan dua pancing untuk digunakan kedua adikku ini. mereka senang sekali
memancing. Setelah lama menunggu, akhirnya mata kail Rahmi mengenai seekor
ikan, lalu dengan sekuat tenaga Rahmi mencoba menganggat ikan itu keluar dari
air. Karena tubuh Rahmi terlalu kecil dan pancing yang terlalu besar dan
panjang, yang terlihat hanya kelucuan ekspresi Rahmi ketika mencoba mengangkat
joran pancing tersebut. Aku pun tertawa geli olehnya. “iiih, jangan hanya
tertawa dong bang, bantuin Rahmi mengangkat pancing ini bang, Rahmi sudah tidak
kuat bang”, terdengar Rahmi minta tolong. Akupun langsung mendekati Rahmi dan
mengangkatkan pancing tersebut, ternyata yang menyangkut di mata kail Rahmi
adalah ikan Gurame dengan ukuran yang sedang. Di sungai ini terkenal dengan
ikan Guramenya. Rahmi pun sangat bahagia mendapatkan ikan Gurame sebesar itu.
Di sisi lain pancing Anggi juga mendapatkan sambaran ikan, kali ini Anggi dapat
mengangkat pancing itu sendirian. Ternyata Anggi juga mendapatkan ikan Gurame
tapi dengan ukuran yang lebih kecil dari ikan milik Rahmi. Waktu menunjukkan
pukul setengah delapan pagi, kami melanjutkan jalan-jalan kami menuju ke rumah.
Hari itu kami mendapat dua ekor ikan Gurame. Ditengah perjalanan, Rahmi
terlihat kelelahan, kemudian aku gendong Rahmi di belakang punggungku dan Anggi
yang membawakan hasil tangkapan ikan beserta pancingnya.
Setelah
sampai di rumah, kedua malaikatku itu langsung ke kamar mandi untuk mandi
berdua. Setelah selesai mandi mereka segera ke meja makan untuk makan ikan
Gurame hasil tangkapan mereka. Tidak lama kemudian nenek selesai memasak ikan
Gurame tersebut menjadi Gurame goreng dengan sambal bawang yang lezat. Kedua
adikku ini terluhat sangat lahap menyantap Gurame tersebut. Selesai sarapan
Gurame, Anggi dan Rahmi aku ajak untuk memberi makan ternak kami bersama kakek
yang sudah menunggu di kandang. Rahmi bertanyakepadaku dengan kepolosannya; “bang,
sapi itu makannya kok rumput terus ya bang?, apa sapi tidak mau makan daging
atau roti bang?”. Mendengar pertanyaan Rahmi tersebut aku langsung tertawa
terbahak-bahak sambil mengelus kepala Rahmi, “Rahmi Rahmi, sapi itu makannya
hanya tumbuh-tumbuhan, dia tidak makan daging. Kalau dia makan daging, nanti
kalau Rahmi dimakan bagaimana hayo?”, “hiiiiii, Rahmi takuuut”, jawab Rahmi
sambil bersembunyi dibelakang tubuhku. Setelah selesai memberi makan ternak,
kedua adikku ini aku ajak ke konter HP untuk membelikan HP untuk mereka. “Kalian
milih sana yang kalian inginkan”, kata ku. Diluar dugaanku, mereka menjawab;
“terserah abang saja, kami dibelikan HP seperti apapun mau kok bang, asal yang
membelikan tetap abang”. Aku tersenyum mendengar jawaban dari kedua adikku ini.
tidak sampai hati aku membelikan HP yang jelek kepada mereka. Akhirnya aku
membelikan HP yang terbaru yang sudah ada kameranya. Mereka senang sekali
dibelikan HP tersebut. Akhirnya kami pulang, sebelum sampai di pintu, Rahmi
berlari menuju ke nenek, lalu dia berkata kepada nenek “Nek, Rahmi tadi
dibelikan HP oleh bang Salman nek, tuh, udah ada kameranya nek, bagus kan?,
lalu nenek menjawab “iya mi, bagus sekali Hpnya, dirawat jangan sampai rusak”,
“oke nek”, sahut Rahmi. Mendengar percakapan Rahmi dan nenek, aku senang
sekali, inilah keluarga bahagia menurutku.
Waktu
menunjukkan jam empat sore, aku langsung masuk kamar. Aku akan berkemas-kemas
terlebih dahulu sebelum besoknya aku berangkat ke Solo untuk kuliah setelah
liburan semesteran. Lalu kami berkumpul di meja makan untuk makan malam
bersama. Kali ini nenek memasak sayur bayam dan sambal. Anggi dan Rahmi asyik
dengan HP baru mereka, terkembang senyum dan tawa dari mereka.”Rahmi, Anggi,
makan dulu, main HPnya dihentikan
dulu, dilanjut nanti setelah makan”, kataku pada mereka. “iya bang”, jawab
mereka serentak. Akhirnya kami makan bersama secara sederhana namun sangat
indah bagiku. Setelah selesai makan, Rahmi dan Anggi bermain HP lagi tetapi aku
tidak menemani mereka, aku langsung menuju ke kamar untuk mengecek kembali
barang-barang bawaanku yang akan ku bawa saat berangkat ke solo nanti. Setelah
aku sendirian di kamar, terasa berat sekali aku harus meninggalkan lagi kedua
malaikat kecilku ini, begitu banyak kenangan bersama mereka, aku semakin sayang
kepada mereka. “apa aku nanti sanggup di solo sendiri ? Meninggalkan mereka ?
Apa nanti mereka akan merindukanku ? Apakah disini nanti mereka akan kesepian
karena tidak ada yang diajak bermain kecuali teman-teman mereka?”
pertanyaan-pertanyaan tersebut terlintas difikiranku dan tanpa kusadari aku
meneteskan air mata tanda ketidaksetujuanku untuk meninggalkan mereka sendirian
disini.
Tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu kamarku, ternyata itu Rahmi dan Anggi ,“abang, kami
boleh masuk tidak bang?” kata Anggi. Aku segera menghapus air mataku dan
menjawab pertanyaan Anggi tadi “boleh, masuk saja, tidak dikunci kok”. Anggi
dan Rahmi masuk ke kamarku. “bang, abang besok mau ke solo lagi ya?”, tanya
Rahmi dengan wajah yang sedih. “iya Rahmi, tidak apa-apa kan abang tinggal ?” jawabku,
“Rahmi tidak mau berpisah dengan abang, Rahmi dan kak Anggi mau abang tetap
disini menemani kami dan bermain bersama kami bang”, “abang harus ke solo,
abang harus kuliah demi masa depan abang dan demi kalian juga”, jawabku lagi. “tidak
mau abang, tetap disini bersama kami abang, hiks hiks hiks”, kata Rahmi sambil
menangis. Aku pun juga ikut menangis mendengar perkataan Rahmi tadi, aku pun
menjawab dengan terisak-isak; “Rahmi, Anggi ,dengarkan abang, abang harus
kuliah, abang harus jauh dari kalian, jaga diri kalian disini ya, jangan nakal,
nurut dengan nenek dan kakek. Nanti abang akan sering sms kalian melalui HP
yang baru abang belikan kemarin, atau abang akan sering telepon kalian, abang
sayang dengan kalian”. Akhirnya tangis diantara kami pecah, dan aku, Rahmi, dan
Anggi berpelukan untuk menenangkan mereka.
Esok
paginya, saat perpisahan aku dengan malaikat-malaikat kecilku datang juga.
Tidak ada ekspresi kesenangan disana, yang ada hanyalah kesedihan, apalagi yang
tergambarkan dari raut wajah Anggi dan Rahmi. Sebelum berangkat Rahmi dan Anggi
memberikan sesuatu kepadaku. “ini bang yang Rahmi hanya bisa berikan buat
abang”, kata Rahmi sambil memberiku celengan berbentuk buah apel. “makasih ya
Rahmi”, kataku sambil mengelus rambutnya. “ini juga bang, yang hanya bisa Anggi
berikan buat abang”, kata Anggi sambil memberikan kotak pensil. “makasih juga
ya Anggi”, kataku sambil mengelus rambut Anggi. Akhirnya akupun berangkat, saat
aku mulai menaiki bis, Anggi dan Rahmi melambaikan tangan kepada ku, aku pun
membalas lambaian tangan tersebut sambil menitihkan air mata.
Sesampainya
di solo, aku langsung menelepon mereka, kami berbincang-bincang begitu lama
sampai hampir dua jam lamanya. Kegiatan tersebut terus aku lakukan nyaris
setiap hari. Pada suatu hari, ada beasiswa pertukaran pelajar dengan pelajar
luar negeri dikampus ku. Aku langsung mengikuti seleksi beasiswa tersebut.
Ternyata aku lolos dalam beasiswa tersebut. Aku akan ditempatkan di
Belandaselama satu semester. Antara senang dan sedih, senangnya karena
mendapatkan beasiswa ke luar negeri dan sedihnya adalah aku harus berpisah
lebih jauh lagi dengan keluargaku terlebih kedua malaikat kecilku. Sebelum hari
keberangkatanku aku akan pulang terlebih dahulu untuk berpamitan dengan
keliargaku dirumah. Dan ternyata sebelum aku berangkat ke Belanda, ayah dan ibu
sudah pulang dan kemungkinan mereka tidak akan balik lagi ke negeri seberang
karena di sini mereka sudah mendapatkan pekerjaan tetap dengan penghasilan yang
lumayan tinggi. Akhirnya aku pun pulang, sampai dirumah aku sudah disambut oleh
Anggi dan Rahmi. “abang, ayah dan ibu sudah dirumah lho, ayo ketemu mereka”,
kata Anggi dan Rahmi sambil membawaku masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam
rumah, aku langsung berpelukan dengan ayah dan ibu untuk menghilangkan
kerinduanku selama ini. setelah itu aku menceritakan tentang beasiswa yang aku
dapatkan. Ayah dan ibu menyetujuinya. Lalu selama sehari tersebut kami
sekeluarga rekreasi ke tempat-tempat rekreasi seperti candi Borobudur,
Prambanan, Pantai Baron dan Pantai parangtritis. Setelah kegiatan seharian itu
tibalah keesokan harinya, aku akan berangkat ke Belanda.”ayah, ibu, nanda pergi
dulu ya ?,jaga diri kalian dan adek buat nanda ya ?”, “iya nak, hati-hati
disana nak”, jawab ayah, sedangkan ibu tidak bisa berkata-kata karena menangis
tersedu-sedu begitu juga dengan Rahmi dan Anggi yang menangis.” Rahmi, Anggi
jangan nakal ya dirumah, nurut sama ayah dan ibu, jangan bandel”. “iya bang”,
jawab mereka sambil menangis. Lalu aku segera masuk ke pesawat di bandara Adi
Soemarmo, sebelum naik pesawat aku melambaikan tangan kepada mereka yang
disambut balasan lambaian tangan dari mereka.
Setelah
sampai di belanda, aku langsung mengirim sms ke rumah, dan juga menelepon
dengan ibu, ayah. Rahmi, dan juga Anggi. Ada satu balasan dari Rahmi yang tidak
akan aku lupakan , isinya seperti ini “hay abang, bagaimana kabarnya abang?
Semoga abang baik-baik saja disitu. Rahmi disini juga baik-baik saja bang, o
iya abang, kapan pulang lagi ke Wonogiri bang? Rahmi kangen dengan abang, ingin
bermain-main lagi dengan abang, di kebun, halaman, bahkan di sungai bang, Rahmi
merindukan itu semua bang, cepetan pulang ya bang, Rahmi tunggu kepulanganmu
AYAH J”, itulah
balasan Rahmi yang membuatku semakin ingin pulang. Rahmi sudah menganggapku sebagai
ayah keduanya. Dia sudah beranjak dewasa rupanya. Di Belanda aku
selalu merindukan mereka, setiap hari selalu menghubungi mereka walau hanya
sekadar menanyakan kabar, karena memang kegiatanku di Belanda sangatlah padat
,jadi hanya sebentar bisa menghubungi mereka . Itulah kenangan-kenangan ku
bersama kedua malaikat-malaikat kecilku di kota ku tercinta Wonogiri kota
gaplek.